Nusantara Selama Penjajahan VOC

Setelah selesai peperangan 80 tahun (1568-1648) atau perang kemerdekaan belanda, belanda kehilangan mata pencahariannya. Oleh karena itu belanda berusaha mengambil rempah-rempah yang ada di indonesia. Mula-mula orang belanda menunjukkan sikap bersahabat, sehingga mereka diterima 
dengan baik oleh pengusaha setempat. Pemerintahan belanda membentuk kongsi dagang yang disebut VOC. VOC memiliki hak-hak yaitu (Sutrisno, 2008:25):
-          Memonopoli perdagangan
-          Memiliki pengadilan sendiri
-          Memiliki mata uang sendiri
-          Hak menguasai dan melakukan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan setempat.

Sejak 1620-an Maluku diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran-niaga Samudra Hindia. Kebijakan ekonomi VOC terhadap Maluku sejak itu bersikap dualistik. Pada satu pihak VOC berusaha agar daerah-daerah produksi cengkeh di Maluku Utara yang dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo, dihilangkan, melalui berbagai perjanjian tertulis dengan para sultan yang diperbaharui dari waktu ke waktu, pihak kerajaan menyetujui keinginan VOC agar cengkeh dan pala tidak diproduksi dan dijual di Maluku Utara. Untuk melaksanakan hal itu hampir setiap tahun (biasanya pada akhir tahun) diadakan apa yang dinamakan "extirpatie" atau penebangan pohon-pohon cengkeh atau pala yang terdapat dalam wilayah kerajaan-kerajaan tersebut. Sebagai imbalannya para Sultan dan Bobato (pejabat kerajaan) menerima sejumlah uang yang dinamakan "recognitiepenningen" (Leirissa, 1977). Sejak 1620-an VOC berhasil memindahkan produksi cengkeh dari Maluku Utara ke kepulauan Ambon. Wilayah inilah yang kemudian dikenal sebagai produsen cengkeh yang terpenting di Maluku (Knaap, 1987).

Keadaan di kepulauan Banda yang memproduksi pala dan fuli sedikit berlainan. Seperti dikemukakan di atas, di sini tidak terdapat kerajaan seperti halnya juga di kepulauan Ambon. Sejak 1621 VOC berhasil mengatasi daerah ini dan menyerah kepada bekas pegawai VOC untuk mengelola perkebunan-perkebunan tersebut. Kebun-­kebun pala itu dibagi dalam kapling-kapling yang dinamakan "perken"; dan para pengelola/kepala perkebunannya dinamakan "perkeniers". Penduduk Kepulauan Banda sebagian besar melarikan diri ke Seram Timur atau ke Makassar, sedangkan para pemimpinnya diangkut ke Jakarta untuk dijadikan tenaga kerja.

Suatu penelitian yang dilakukan oleh R.Z. Leirissa mengenai perdagangan di sekitar Laut Seram membuktikan bahwa kegiatan perdagangan tidak terhenti di wilayah ini sekalipun memang bukan rempah-rempah yang menjadi primadonanya seperti sebelum 1620-­an. Disamping administrative trade yang dikelola VOC dan terutama menyangkut rempah-rempah, terdapat pula "non-formal trade" yang dilakukan oleh para pedagang lokal dan Bugis-Makassar. Pusat-pusat administrative trade yang menyangkut kebutuhan penduduk adalah di "pasar kompeni" yang terdapat baik di Ternate maupun di Ambon, dan pusat dari non-formal trade terutama terdapat di Seram Timur dan Seram Utara. Juga country traders (pedagang swasta Inggris) yang mulai memasuki Maluku sejak pertengahan abad ke-18 harus dimasukan dalam non-formal trade. Hubungan pedalaman dan pesisir di Seram yang dilakukan melalui suatu sistem barter yang khas dengan perantara-perantara di pesisir yang dinamakan kamoi (Seram Utara) tergolong non-formal trade (Leirissa, 1994). Malah di wilayah formal trade seperti pulau Ambon yang dikuasai sepenuhnya oleh VOC terdapat pula non formal trade yang dilakukan oleh pegawai­pegawai pensiunan Belanda atau golongan "burger" (golongan penduduk kota yang bukan pegawai VOC). Hubungan-hubungan semacam ini ternyata lebih bersifat pribadi daripada hubungan ekonomi yang rasional (Leirissa, Lapian, dan Manusama, 1982).

Selain itu para pedagang Bugis-Makassar memenuhi suatu fungsi yang penting dalam dunia ekonomi. Banyak di antara mereka yang berdiam di kota-kota Ambon dan Ternate dalam pemukiman-pemukiman sendiri yang dinamakan kampung Makassar. Peranan mereka di sini termasuk formal trade karena mereka berdagang dengan izin (surat izin berlayar) yang dikeluarkan VOC. Tetapi selain itu terdapat pula pemukiman-pemukiman Makassar di Seram Utara dan Seram Timur. Kegiatan perdangangan mereka tergolong non-formal trade. Banyak di antara mereka telah menyatu dengan masyarakat setempat melalui perkawinan seperti di Kepulauan Gorong dan Seram Laut. Fungsi mereka adalah sebagai agen yang mengumpulkan berbagai produk laut yang setiap tahun akan diangkut oleh para pedagang Makassar yang memasuki wilayah ini tanpa izin VOC dengan paduakang-paduakang-nya. Melalui jalur pedagangan ini wilayah Laut Seram (dan kemudian juga Laut Banda) terkait dengan para saudagar Makassar dari Bugis yang bermukim di Bali, Lombok dan Sumbawa yang pada gilirannya meneruskan produk-produk laut dari Maluku itu ke Singapura yang muncul sebagai bebas sejak 1824 (Leirissa, dan Sutaba [et al.], 1983).

Pengaruh VOC di Nusantara sesungguhnya hanya berada dalam dunia perekonomian  saja khususnya pelayaran dan niaga. Semua kota dagang pengekspor rempah-rempah di Nusantara sampai 1680 berangsur-angsur dikuasai VOC. Hanya Aceh saja yang tidak dapat dikuasainya. Kerajaan Brunei yang sesungguhnya telah muncul pula bersamaan dengan Samudra Pasai, malah sama sekali tidak disentuh oleh VOC. Hal ini disebabkan terutama karena Brunai bukan kota dagang pengekspor rempah-rempah.

No comments:

Post a Comment